Yang Aneh dari Bahagia

image

Beberapa hari belakangan, gue banyak diajarin tentang arti kebahagiaan. Banyak dari makna yang tersingkap sebenarnya sudah gue ketahui dari dulu tapi belum benar-benar gue pahami sampai akhirnya gue dapat pengalaman-pengalaman unik. Keadaan seperti ini, dimana masalah atau situasi tiba-tiba bisa dipahami dari perspektif baru dan mendalam, disebut sebagai epifani. Epifani juga dikenal dengan nama “AHA moment” atau “Eureka moment”.

Contoh epifani terkenal adalah ketika Archimedes menemukan cara untuk mengukur densitas sebuah objek lalu lari-lari sambil telanjang dan teriak “Eureka! Eureka!”

Oke, lanjut berbicara tentang kebahagiaan. Banyak orang berkata bahagia itu sederhana. Kebahagiaan itu pilihan. Happiness is simple. Happiness is a choice. Tapi toh ternyata gak segampang itu untuk memilih jadi bahagia.

Let me tell you my story.

Tanggal 1 Agustus kemarin gue berangkat dari Cilegon ke Jakarta Pusat untuk nginep di kost salah seorang teman. Gue punya rencana ikut tes TOEFL ITP di UI Depok terus siangnya mau dateng ke expo pendidikan di Hotel Mulia, Jakarta Pusat.

Biasanya, kalau lagi ada keperluan di daerah sekitar Jakarta, gue nginep di tempat bibi gue di Tangerang, dekat Stasiun Poris. Tapi berhubung jarak Stasiun Poris ke Stasiun UI Depok cukup jauh, akhirnya gue memutuskan untuk nginep di tempat teman gue karena jaraknya lebih dekat.

Kejadian-kejadian yang terjadi pada hari itu lumayan unik. Salah satu kejadian unik yang terjadi adalah waktu lagi tes TOEFL ITP tiba-tiba ada petasan yang meledak berturut-turut. Kacau banget. Terus expo pendidikan di Hotel Mulia juga ternyata jauh dari bayangan gue, ruangannya kecil dan sangat berdesak-desakan. Karena manfaat yanng bisa gue dapat dari sana sangat minim, akhirnya gak lama kemudian gue memutuskan untuk cabut dari Hotel Mulia dan segera pulang ke Cilegon karena takut kemalaman.

Bahagia itu (harusnya) sederhana

Hawa adem? Yaelah. Liat salju tuh baru keren!” atau “Liburan ke Bali? Bosen ah, gue mau jalan-jalan ke Paris

Waktu lagi di KRL dengan tujuan akhir Stasiun Duri, Tangerang. Gue sempat melirik jam sejenak. Sekitar jam 4 lewat. Kondisi kereta saat itu lumayan kosong. Semua orang yang naik bisa duduk. Setelah gue duduk, ada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya, beberapa anak kecil, dan seorang remaja ikutan masuk. Kelihatannya mereka satu rombongan.

Kereta berhenti cukup lama, sekitar 10 menit. Uniknya, waktu kereta mau berangkat, rombongan ibu dan anak tadi turun lagi. Gue sempat bingung sejenak karena peristiwa itu. Setelah turun, gue perhatikan di wajah mereka ada senyum bahagia. Gue baru kepikiran kalau ternyata mereka tadi cuma ngadem sejenak sembari melepas lelah karena harus berdiri menunggu kereta.

Gue sempat perhatikan pakaian dan penampilan mereka. Sepertinya mereka tergolong menengah ke bawah. Di situ gue mikir, kenapa duduk 10 menit di ruangan adem bisa bikin mereka sebahagia itu? Padahal kayaknya kalo orang yang terbiasa di AC, adem segitu malah kayaknya kurang. Karena kejadian itu, gue jadi sadar akan beberapa hal. Orang-orang itu bahagia karena rasa adem seperti itu adalah sebuah kemewahan tersendiri buat mereka. Makin sedikit materi yang kita punya, harusnya makin banyak hal yang bisa membuat kita bahagia. Makin banyak materi yang kita punya, tentunya butuh hal-hal lebih luar biasa untuk membuat kita bahagia.

Kalimat-kalimat seperti “Hawa adem? Yaelah. Liat salju tuh baru keren!” atau “Liburan ke Bali? Bosen ah, gue mau jalan-jalan ke Paris” bisa jadi contoh betapa hal-hal mewah buat orang lain sebenernya sudah jadi hal biasa buat kita. Ketika hal biasa sudah gak kerasa nikmat lagi, kita lalu berusaha cari hal yang lebih dan lebih lagi.

Hari itu gue berasa kena tampar sama senyum di wajah mereka. Betapa banyak hal-hal luar biasa di hidup gue yang lupa untuk disyukuri.

Kebahagiaan anak = kebahagiaan orang tua

Parent Love Children

Setelah turun di Stasiun Duri, gue nyambung kereta ke arah Stasiun Poris. Kereta saat itu penuh sesak. Di sebelah kiri gue terdengar sebuah percakapan, “Silakan duduk Pak, ini masih ada tempat”, ujar seorang bapak-bapak yang tengah duduk (sebut saja Bapak A). Bapak yang sedang beridiri (sebut sajak Bapak B) kemudian menanggapi, “Oh iya, gak apa. Saya berdiri aja. Biar dia nyaman duduknya”, katanya sambil menunjuk anaknya. Gue diam-diam senyum waktu dengar si Bapak B ngomong begitu.

Bapak di hadapan gue lain lagi ekspresi sayangnya terhadap anak. Kemeja yang dikenakan Bapak itu terlihat cukup lusuh sementara anaknya pakai jaket keren berwarna biru tua. Sangat kelihatan si bapak mendahulukan keperluan anak dibanding kebutuhan dirinya sendiri.

Selama gue berada di kereta itu, hati gue terasa hangat dan damai karena pemandangan yang demikian. Waktu nulis ini, gue jadi inget perkataan ini:

Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan?

Gue gak pernah nyangka kalau perjalanan hari Sabtu kemarin bisa begitu kaya akan pelajaran berharga. Mungkin ada benernya juga kata temen gue, bahagia itu saat kita tidak berharap dapat apa-apa tapi tiba-tiba dapat. Gue gak berharap bisa dapat apa-apa dari perjalanan di KRL, tiba-tiba dapat epifani yang luar biasa. Yang jelas hari Sabtu kemarin gue bahagia.

Lain kali gue ngebolang lagi deh kalo gitu 😛