Cinta Tanpa Harus

Kemarin, di hari Valentine, gue jadi makin sadar tentang satu hal. Bahwa kata harus sebenarnya bisa membuat sebuah aktifitas kehilangan makna.

Dalam konteks mencintai, kita seringkali punya gambaran dan ekspektasi tertentu tentang pasangan kita. Kalau mencakup hal yang sangat prinsip, misal pasangan hidup kita harus satu agama dan sebagainya menurut gue itu wajar. Hal-hal yang mendasar tidak gue persoalkan.

Tapi, yang jadi soal adalah ketika kita punya bayangan akan sosok yang kita idamkan lalu kita coba ukur pasangan kita dengan standar tersebut. Misal, seorang perempuan bernama Anisa punya standar bahwa yang namanya laki-laki sejati harus romantis. Padahal sebenarnya, si Budi, pasangan Anisa, bukanlah orang yang suka mengekspresikan cinta dengan hal-hal romantis. Kata harus di sini akhirnya menjadi sebuah beban untuk Budi. Ketika Budi diukur dengan ‘penggaris’ romantis, Budi terlihat sangat pendek dan tidak berarti.

Menurut gue, hubungan yang sehat adalah ketika keduanya sama-sama jadi diri sendiri. Lantas makna jadi diri sendiri itu seperti apa? Apa itu artinya Budi mengabaikan kebutuhan Anisa begitu saja, dan sama sekali gak usah berlaku romantis? Buat gue jawabannya sederhana. Budi bisa berinisiatif untuk sesekali berlaku romantis pada Anisa tanpa kehilangan jati dirinya.

Kata kuncinya di sini adalah inisiatif. Mengutip makna initiative versi mbah Google: “the ability to assess and initiate things independently” Inisiatif adalah memulai hal secara mandiri, tanpa disuruh. Cinta tidak bisa timbul dalam keterpaksaan. Saat kita merasa terpaksa melakukan sesuatu, tidak ada cinta di situ. Silakan baca tulisan gue, Bicara Cinta, kalau mau mendalami perspektif gue tentang hal tersebut >> https://guelagimikir.wordpress.com/2016/07/15/bicara-cinta/

Dari berbagai pemikiran ini, gue jadi makin sadar bahwa sebenarnya berbagai dogma di masyarakat terkait kewajiban dalam hubungan seringkali justru malah membunuh inisiatif. Ujung-ujungnya berbagai tindakan yang dilakukan oleh keduanya malah kehilangan makna cinta. Misal, kalau di contoh tadi, ketika Budi terpaksa berbuat romantis kepada Anisa hanya karena memenuhi keharusan, tidak ada cinta dalam perbuatan itu. Cinta tidak bisa hadir dalam keterpaksaan.

Contoh keharusan lain yang sering beredar di masyarakat, namanya seorang istri harus memasak dan membersihkan rumah. Kata harus akhirnya menjadi beban yang sangat berat. Banyak orang yang akhirnya mengambil kursus masak dan sebagainya menjelang pernikahan. Hanya supaya bisa memenuhi keharusan ini. Memenuhi ekspektasi dari berbagai pihak. Padahal makna sebenarnya di balik masakan adalah ekspresi cinta dan pengabdian seorang istri kepada suaminya. Masakan bukan sebuah beban yang berat, bukan keharusan tanpa makna, bukan pula sarana untuk memenuhi ekspektasi orang lain.

Bayangkan, ketika keduanya, suami dan istri, sama-sama saling berinisiatif. Ketika suami lelah menyetir, sang istri berinisiatif untuk mengambil alih kemudi kendaraan sebagai ekspresi cinta pada sang suami. Atau ketika seorang suami berinisiatif untuk membantu cuci piring dan pakaian supaya sang istri bisa santai sejenak menikmati serial Korea favoritnya. Sungguh indah!

Cinta adalah kata kerja. Cinta butuh secara aktif dikerjakan untuk tetap bisa bertahan. Mempertahankan cinta tidak bisa dilakukan secara pasif. Kita tidak bisa hanya diam saja dan hanya menikmati hasil pekerjaan yang dilakukan oleh orang sekeliling kita. Itu namanya cinta bertepuk sebelah tangan.

Gue makin hari makin belajar untuk melepaskan kata harus. Melepaskan semua ekspektasi gue tentang ini dan itu. Gue mau belajar untuk memahami dan menyelami, cinta yang apa adanya.

2 pemikiran pada “Cinta Tanpa Harus

Tinggalkan komentar